Belanja di App banyak untungnya:
PWMJATENG.COM – Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sejarah yang kaya akan keberagaman budaya dan agama. Salah satu elemen penting dalam sejarah Indonesia adalah keberadaan kerajaan-kerajaan Islam yang memainkan peran krusial dalam perkembangan politik, ekonomi, dan budaya di Nusantara. Raja-raja Islam di Indonesia tidak hanya berperan sebagai pemimpin politik, tetapi juga sebagai penyebar agama dan penjaga stabilitas sosial di wilayah kekuasaannya.
Islam mulai masuk ke Nusantara pada abad ke-7 melalui jalur perdagangan. Para pedagang dari Arab, Persia, dan India membawa ajaran Islam bersamaan dengan barang dagangan mereka. Seiring waktu, ajaran Islam mulai diterima oleh penduduk lokal, terutama di pesisir utara Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Proses Islamisasi ini kemudian didukung oleh berdirinya kerajaan-kerajaan Islam yang menjadi pusat penyebaran agama.
Menurut sejarawan Anthony Reid, “Islamisasi di Asia Tenggara adalah proses yang unik karena berlangsung melalui perdagangan, pernikahan, dan patronase politik, bukan melalui penaklukan militer.” Hal ini memungkinkan Islam untuk tumbuh dan berkembang dengan cara yang damai, serta berakulturasi dengan budaya lokal yang sudah ada.
Kerajaan Samudera Pasai di Aceh dianggap sebagai kerajaan Islam pertama di Indonesia, didirikan pada awal abad ke-13. Sultan Malik al-Saleh, raja pertama Samudera Pasai, memeluk Islam dan menjadikan kerajaan ini sebagai pusat penyebaran agama di wilayah Sumatera. Samudera Pasai menjadi penting tidak hanya karena peran politiknya, tetapi juga sebagai pusat perdagangan internasional yang menghubungkan Nusantara dengan Timur Tengah dan India.
Dalam konteks ini, Kerajaan Samudera Pasai memainkan peran penting dalam membangun jaringan perdagangan maritim yang luas dan mempromosikan Islam sebagai agama resmi kerajaan. Sejarawan Denys Lombard menyatakan bahwa “Samudera Pasai adalah contoh nyata dari bagaimana Islam mampu beradaptasi dan berkembang di tengah-tengah masyarakat yang heterogen di Nusantara.”
Pada abad ke-15, Kesultanan Demak muncul sebagai kekuatan politik dan agama di Jawa. Didukung oleh Wali Songo, para ulama yang berperan dalam penyebaran Islam di Jawa, Kesultanan Demak menjadi kerajaan Islam pertama di pulau tersebut. Raden Patah, pendiri Kesultanan Demak, memainkan peran penting dalam mengkonsolidasikan kekuatan politik Islam di Jawa, serta mendukung penyebaran ajaran Islam ke wilayah-wilayah sekitarnya.
Kesultanan Demak juga berperan dalam mengintegrasikan elemen-elemen budaya lokal dengan ajaran Islam, menciptakan tradisi Islam yang unik di Jawa. Dalam bukunya, “Islam in Java”, Clifford Geertz menyebutkan bahwa “Islam di Jawa berkembang dengan cara yang sinergis, di mana ajaran agama diadaptasi dengan tradisi dan budaya lokal, menciptakan bentuk Islam yang khas di Nusantara.”
Kesultanan Aceh Darussalam di Aceh, yang berdiri pada abad ke-16, adalah salah satu kerajaan Islam terbesar dan terkuat di Indonesia. Sultan Iskandar Muda, salah satu raja terbesar Kesultanan Aceh, memperluas wilayah kekuasaan dan memperkuat posisi Aceh sebagai pusat perdagangan dan penyebaran Islam di Nusantara bagian barat. Aceh juga dikenal sebagai “Serambi Mekkah” karena peran sentralnya dalam menghubungkan Nusantara dengan dunia Islam, terutama dalam hal pendidikan agama dan ibadah haji.
Menurut Azyumardi Azra, seorang sejarawan dan cendekiawan Islam Indonesia, “Kesultanan Aceh adalah contoh bagaimana Islam dan politik dapat berintegrasi untuk membangun kekuatan regional yang berpengaruh. Aceh tidak hanya menjadi benteng pertahanan Islam di Nusantara, tetapi juga pusat intelektual Islam yang melahirkan banyak ulama dan cendekiawan.”
Di wilayah timur Indonesia, Kesultanan Ternate dan Tidore memainkan peran penting dalam penyebaran Islam dan pengendalian jalur perdagangan rempah-rempah. Kedua kesultanan ini bersaing, namun juga bekerja sama dalam mempertahankan kedaulatan mereka melawan penjajah Eropa. Sultan Baabullah dari Ternate dikenal sebagai salah satu pemimpin yang berhasil mengusir Portugis dari wilayah Maluku dan memperkuat posisi Islam di kawasan tersebut.
Sejarawan MC Ricklefs mencatat bahwa “Kesultanan Ternate dan Tidore tidak hanya memainkan peran dalam perdagangan, tetapi juga dalam menyebarkan Islam di wilayah timur Indonesia, membentuk jaringan diplomasi yang kuat dengan kerajaan-kerajaan Islam lainnya di Nusantara.”
Raja-raja Islam di Indonesia meninggalkan warisan yang tak ternilai bagi bangsa ini. Mereka tidak hanya membentuk identitas politik dan agama Nusantara, tetapi juga berkontribusi dalam perkembangan budaya, ekonomi, dan sosial yang masih terasa hingga kini. Keberadaan kerajaan-kerajaan Islam ini menunjukkan bagaimana Islam di Indonesia berkembang dengan cara yang unik, berakulturasi dengan budaya lokal, dan menciptakan kekuatan politik yang signifikan di kawasan Asia Tenggara.
Sebagai negara dengan penduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia, warisan raja-raja Islam ini terus menjadi bagian penting dari identitas dan sejarah Indonesia. Dengan memahami sejarah kerajaan-kerajaan Islam ini, kita dapat menghargai lebih dalam kontribusi mereka dalam membentuk bangsa Indonesia yang beragam, inklusif, dan penuh toleransi.
Masa lalu yang kaya akan kejayaan kerajaan-kerajaan Islam ini mengingatkan kita akan pentingnya menjaga harmoni antara agama dan negara, serta menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kemanusiaan, dan kemajuan yang diwariskan oleh para pendahulu kita.
Editor : M Taufiq Ulinuha
Jumlah Pengunjung : 1,335
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
2 Raja-raja 1 (atau II Raja-raja 1, disingkat 2Raj 1) adalah pasal pertama Kitab 2 Raja-raja dalam Alkitab Ibrani dan Perjanjian Lama di Alkitab Kristen. Dalam Alkitab Ibrani termasuk Nabi-nabi Awal atau Nevi'im Rishonim [נביאים ראשונים] dalam bagian Nevi'im (נביאים; Nabi-nabi).[1] Pasal ini berisi riwayat Ahazia raja ke-9 Kerajaan Israel Utara, nabi Elia dan Yoram raja Israel ke-10.[2]
Jubah berbulu kasar yang dibuat dari kulit domba, kulit kambing, atau bulu unta merupakan tanda jabatan nabi sejak Elia, termasuk Yohanes Pembaptis (bandingkan Zakharia 13:4; Matius 3:4; Ibrani 11:37). Sabuk kulit Elia itu biasanya dipakai oleh orang miskin. Pakaian seorang nabi menjadi tanda kecaman terhadap golongan atas yang kaya yang memperlihatkan sifat materialistis (bandingkan Yesaya 20:2; Matius 11:7–8).[5]
Raja Yerusalem adalah pemimpin tertinggi Kerajaan Yerusalem, negara yang didirikan para panglima Tentara Salib Katolik Latin di Yerusalem, sesudah berhasil merebut kota itu pada tahun 1099 dalam Perang Salib I.
Godefridus bangsawan Bouillon, kepala negara Kerajaan Yerusalem yang pertama, menampik gelar raja dan hanya bersedia menyandang gelar Advocatus Sancti Sepulchri, Pembela Makam Kudus. Pada tahun 1100, Balduinus I naik takhta menggantikan Godefridus, dan menjadi kepala negara Kerajaan Yerusalem pertama yang dinobatkan sebagai raja. Meskipun Tentara Salib di Yerusalem menyerah pada tahun 1187, Kerajaan Yerusalem belum tumbang. Ibu kotanya dipindahkan ke Ako pada tahun 1191. Yerusalem sempat kembali ke pangkuan Tentara Salib semasa Perang Salib VI, yakni pada selang waktu tahun 1229–1239 dan tahun 1241–1244.
Kerajaan Yerusalem akhirnya bubar sesudah Ako jatuh ke tangan Mamluk dan Tentara Salib hengkang dari Tanah Suci pada tahun 1291.
Meskipun negara-negara bentukan Tentara Salib sudah runtuh, sejumlah bangsawan Eropa masih saja mendaku-daku sebagai ahli waris gelar "Raja Yerusalem," yakni bangsawan-bangsawan yang masih termasuk nasab raja-raja Siprus atau raja-raja Napoli, bahkan Raja Spanyol yang memerintah saat ini pun mendaku sebagai ahli waris yang sah atas gelar tersebut.
Kerajaan Yerusalem terbentuk pada masa Perang Salib I, ketika usulan-usulan untuk menjadikan kota Yerusalem sebagai sebuah negara agama ditolak. Pada tahun 1099, Godefridus bangsawan Bouillon, terpilih menjadi kepala pemerintahan Yerusalem yang pertama dari kalangan Katolik Latin. Upacara pelantikannya dilangsungkan di Gereja Kelahiran, Betlehem. Ia menyandang gelar pangeran dan Advocatus Sancti Sepulchri, Pembela Makam Kudus. Mungkin sekali alasan di balik pemilihan gelar tersebut adalah anggapan masyarakat bahwa Kristus sajalah yang boleh bertajuk mahkota di Yerusalem. Advocatus adalah gelar yang sudah tidak asing lagi bagi Godefridus, karena jamak dipakai di negeri-negeri asal Tentara Salib sebagai gelar bagi tokoh awam yang melindungi dan mengurus harta benda milik Gereja. Godefridus mangkat pada tahun berikutnya. Adiknyalah, Balduinus I, yang pertama kali menyandang gelar raja, dan yang pertama kali dinobatkan menjadi raja di Gereja Makam Kudus.
Jabatan Raja Yerusalem bersifat separuh elektif dan separuh herediter. Pada pertengahan abad ke-12, saat sedang jaya-jayanya, Kerajaan Yerusalem memiliki wangsa penguasa dan alur suksesi kepemimpinan yang relatif jelas, tetapi rajanya dipilih, atau sekurang-kurangnya diakui, oleh Haute Cour. Raja dianggap sebagai primus inter pares (orang yang dituakan di antara rekan-rekan sederajat) di dalam Haute Cour. Bilamana raja berhalangan hadir, tugas-tugasnya dilaksanakan oleh para seneschal-nya.
Sejak dasawarsa 1160-an, raja berdiam di dalam istana yang didirikan baginya di sebelah selatan Benteng Yerusalem.[4] Kerajaan Yerusalem memperkenalkan tatanan feodal Prancis ke Bilad Syam. Selaku orang pribadi, raja menguasai beberapa daerah bumi lungguh. Daerah-daerah tersebut disatukan dengan wilayah kedaulatannya. Oleh karena itu wilayah kedaulatan setiap Raja Yerusalem berbeda-beda luasnya. Raja juga bertanggung jawab memimpin pasukan menuju medan perang, tetapi tugas ini dapat dilimpahkan kepada seorang jagabaya.
Manakala lingkup kewenangan raja di sejumlah negara Eropa kian meluas, lingkup kewenangan Raja Yerusalem justru terus-menerus menyempit, digerogoti tokoh terkuat dari antara para baron bawahannya. Penyebabnya antara lain adalah banyaknya raja yang naik takhta pada usia belia, dan seringnya jabatan pemangku raja dipegang pembesar dari kalangan bangsawan.
Sesudah Yerusalem jatuh ke tangan Mamluk pada tahun 1187, ibu kota Kerajaan Yerusalem berpindah ke Ako sampai tahun 1291, meskipun upacara penobatan dilangsungkan di kota Tirus.
Pada masa itu, jabatan raja sifatnya nominal belaka, disandang seorang petinggi Eropa yang tidak pernah bermastautin di Ako. Ketika si cilik Konradus III menyandang gelar Raja Yerusalem dan bermastautin di Jerman Selatan, mindoan ayahnya, Bupati Brienne, Hugo, menyatakan diri sebagai Pemangku Raja Yerusalem, dan secara tidak langsung mengklaim hak sebagai calon Raja Yerusalem berikutnya. Pernyataan diri yang diumumkan pada tahun 1264 itu dilakukan sang bupati selaku kerabat tertua sekaligus ahli waris yang sah dari Alisia, putri kedua Ratu Isabela I. Ibu Hugo adalah putri tertua pasangan raja dan permaisuri Siprus, Hugo I dan Alisia. Meskipun demikian, Haute Cour mementahkan klaim Hugo dan mempercayakan kedudukan yang diklaimnya kepada saudara misannya, Hugo bangsawan Antiokhia, yang kemudian hari menjadi Raja Hugo III selaku kepala negara Kerajaan Siprus dan Raja Hugo I selaku kepala negara Kerajaan Yerusalem.
Sesudah Konradus III dihukum mati pada tahun 1268 oleh Karolus I, Raja Sisilia, jabatan Raja Yerusalem menjadi hak pusaka wangsa Lusignan, yang juga memangku jabatan Raja Siprus. Meskipun demikian, Raja Karolus I membeli hak itu dari salah seorang ahli waris Kerajaan Yerusalem pada tahun 1277.
Pada tahun itu juga, Raja Karolus I mengutus Rogerus bangsawan San Severino, ke Timur Tengah selaku pengemban titahnya. Rogerus merebut Ako dan memaksa para baron bersembah bakti kepada Raja Karolus I. Ia dipanggil pulang pada tahun 1282 tatkala pecah pemberontakan Sembahyang Larut Senja di Sisilia, dan melimpahkan tugas jabatannya kepada Odo Poilechien. Sumber daya dan kewenangan yang dimiliki Odo Poilechien sangat terbatas. Ia diusir dari Ako saat Raja Henrikus II tiba dari Siprus untuk dinobatkan menjadi Raja Yerusalem.
Jatuhnya Ako ke tangan Mamluk pada tahun 1291 mengakhiri kiprah Tentara Salib di Timur Tengah.
Pada tahun 1127, seorang duta utusan Raja Balduinus II, datang menghadap Bupati Anjou, Fulko V, mempersembahkan tawaran perjodohan dari Kerajaan Yerusalem. Raja Balduinus II tidak dikaruniai putra, tetapi sudah menetapkan putrinya, Melisenda, sebagai calon penerus. Sang raja hendak melindungi hak waris putrinya dengan jalan mengawinkannya dengan seorang bangsawan yang disegani. Fulko adalah anggota Tentara Salib yang kaya, panglima kawakan, dan seorang duda. Pengalaman militer Fulko kelak terbukti sangat berguna bagi Kerajaan Yerusalem, sebuah negara di garis depan yang senantiasa dibayang-bayangi perang.
Fulko mengajukan syarat yang lebih tinggi, bukan hanya sekadar mempersunting Melisenda, ia ingin menjadi raja yang memerintah bersama Melisenda. Dengan pertimbangan kekayaan dan kiprah militer Fulko, Raja Balduinus II menerima syarat tersebut. Fulko melepas jabatan Bupati Anjou kepada putranya, Gefredus, lalu berlayar ke Yerusalem dan mengawini Melisenda pada tanggal 2 Juni 1129. Kemudian hari, Raja Balduinus II mendongkrak kedudukan Melisenda di Kerajaan Yerusalem dengan menjadikannya sebagai satu-satunya wali Balduinus III, buah perkawinannya dengan Fulko yang lahir pada tahun 1130.
Fulko dan Melisenda naik takhta bersama-sama menjadi kepala negara sesudah Raja Balduinus II mangkat pada tahun 1131. Sedari awal Fulko sudah memonopoli urusan pemerintahan, Melisenda sama sekali tidak dilibatkan. Ia mengutamakan orang-orang yang sedaerah-asal dengannya ketimbang kaum bangsawan asli. Negara-negara Tentara Salib lainnya di utara khawatir kalau kalau Fulko akan memaksa mereka menjadi negara bawahan Kerajaan Yerusalem, seperti yang pernah dilakukan Raja Balduinus II, tetapi lantaran Fulko tidak sekuat mendiang mertuanya itu, negara-negara di utara menolak kewenangannya.
Di Yerusalem pun Fulko tidak disenangi warga Kristen generasi kedua yang lahir dan membesar di kota itu sejak zaman Perang Salib I. Warga Kristen "bumiputra" tersebut lebih suka bertuan kepada saudara misan Ratu Melisenda, yakni Bupati Yafo, Hugo II, yang sangat setia berbakti kepada sang ratu. Di mata Fulko, Hugo adalah saingan. Demi menyingkirkan saingannya itu, pada tahun 1134, Fulko menuduh Hugo berbuat serong dengan Melisenda. Hugo menggugat tuduhan itu dengan memberontak. Ia berkubu di Yafo, dan bersekutu dengan umat Islam Askelon. Angkatan perang yang dikerahkan Fulko dapat ia kalahkan, tetapi entah sampai kapan ia sanggup menahan gempuran. Batrik Yerusalem akhirnya turun tangan menengahi, mungkin atas titah Melisenda. Fulko bersedia berdamai, sementara Hugo rela hidup terbuang dari Yerusalem selama tiga tahun, bukan suatu hukuman yang berat.
Meskipun perseteruan sudah mereda, Hugo pernah nyaris saja tewas dibunuh orang. Sekalipun tidak ada bukti yang kuat, sudah menjadi keyakinan umum bahwa Fulko atau para pendukungnyalah yang mendalangi upaya pembunuhan atas diri Hugo. Skandal ini dimanfaatkan para pendukung ratu untuk mengambil alih pemerintahan lewat gerakan yang memuncak pada suatu kudeta istana. Penulis dan sejarawan Bernard Hamilton mengemukakan di dalam bukunya bahwa para pendukung Fulko "dicekam rasa takut kehilangan nyawa" di istana. Pujangga dan sejarawan sezaman, Wilelmus, Uskup Agung Tirus, meriwayatkan di dalam tawarikhnya bahwa Fulko "tidak lagi berani coba-coba mengambil prakarsa, bahkan untuk urusan remeh-temeh sekalipun, tanpa persetujuan (Melisenda)". Akibatnya, sejak tahun 1136, Melisenda mengendalikan pemerintahan secara langsung tanpa diganggu gugat pihak mana pun. Fulko akhirnya kembali rukun dengan istrinya sebelum tahun 1136, dan pasangan itu sekali lagi dikaruniai seorang putra, yang diberi nama Amalrikus.
Pada tahun 1143, ketika sedang berlibur bersama istrinya di Ako, Fulko mangkat akibat kecelakaan selagi asyik berburu. Pujangga Wilelmus meriwayatkan bahwa kuda yang ditungganginya jatuh tersandung, kepala Fulko membentur pelana, "dan otaknya menyembur keluar dari lubang-lubang telinga maupun hidung." Ia segera dilarikan ke Ako, dan terbaring tak sadarkan diri selama tiga hari sebelum akhirnya dijemput ajal. Ia dikebumikan di dalam Gereja Makam Kudus di Yerusalem. Sekalipun rumah tangga mereka diawali dengan konflik, Melisenda berkabung meratapi kepergian Fulko, baik saat sedang sendirian maupun di depan khalayak ramai. Ahli-ahli waris Fulko adalah Gefredus, anaknya dari istri pertama, serta Balduinus III dan Amalrikus I, anak-anaknya dari Melisenda.
Balduinus III naik takta bersama-sama ibunya pada tahun 1143. Awal masa pemerintahannya diwarnai cekcok dengan ibunya terkait kepemilikan Yerusalem. Cekcok anak-beranak itu baru usai sesudah Balduinus III memegang sendiri kendali pemerintahan pada tahun 1153. Pada tahun 1163, Balduinus III mangkat tanpa meninggalkan keturunan. Adiknya, Amalrikus, naik tahkta menggantikannya, kendati perkawinan Amalrikus tidak direstui beberapa pihak di kalangan bangsawan. Pada tahun 1157, saat Balduinus III masih berpeluang dikaruniai seorang putra, pihak-pihak tersebut bersedia merestui perkawinan Amalrikus dengan Agnes, putri Bupati Edesa, tetapi saat Amalrikus mewarisi takhta lantaran abangnya mangkat tanpa keturunan, Haute Cour tidak bersedia mengakui hak warisnya jika perkawinannya dengan Agnes tidak dibatalkan. Harus diakui bahwa mungkin saja kebencian terhadap Agnes terlampau dilebih-lebihkan oleh pujangga Wilelmus, mengingat Agneslah yang menjegal ambisinya menjadi Batrik Yerusalem berpuluh-puluh tahun kemudian, demikian pula oleh pujangga-pujangga yang meneruskan penulisan tawarikh Wilelmus, misalnya Ernoul, yang menyajikan secuil informasi mengenai akhlak Agnes lewat kalimat "car telle n'est que roine doie iestre di si haute cite comme de Jherusalem" (tidak pantas ratu semacam dia memerintah kota sesuci Yerusalem).
Bagaimanapun juga, kedekatan hubungan darah sudah cukup memadai untuk dijadikan alasan penentangan. Amalrikus akhirnya setuju naik takhta tanpa permaisuri, kendati Agnes tetap menyandang gelar Istri Bupati Yafo dan Askelon, serta menerima pensiun dari pendapatan dua daerah bumi lungguh itu. Gereja memutuskan bahwa anak-anak Amalrikus dari Agnes adalah anak-anak yang sah, dan oleh karena itu adalah ahli-ahli waris yang sah atas takhta Kerajaan Yerusalem. Melalui anak-anaknya, Agnes leluasa mencampuri urusan pemerintahan Yerusalem selama hampir 20 tahun. Amalrikus digantikan putranya dari Agnes, Balduinus IV.
Agnes kawin lagi dengan Bupati Sidon, Reginaldus, pada tahun 1170, sementara Permaisuri Maria Komnena, sepeninggal Amalrikus, kawin lagi dengan Tuan Besar Ibelin, Balianus, pada tahun 1177. Saat itu Putri Sibila, anak Amalrikus dan Agnes, sudah tumbuh dewasa, memiliki seorang putra, dan jelas-jelas adalah calon kuat pengganti abangnya, tetapi Putri Isabela, anak Amalrikus dari Maria Komnena, didukung keluarga besar ayah tirinya, wangsa Ibelin.
Pada tahun 1179, Raja Balduinus IV berencana menjodohkan Putri Sibila dengan Adipati Burgundia, Hugo III, tetapi sampai dengan musim seni tahun 1180, usaha perjodohan tersebut tidak kunjung tertuntaskan. Bupati Tripoli, Raimundus III, berusaha melancarkan kudeta. Ia memimpin pasukannya berbaris menuju Yerusalem bersama-sama pasukan Pangeran Antiokhia, Boamundus III, dengan maksud memaksa raja untuk mengawinkan Putri Sibila dengan seorang bangsawan setempat yang ditentukannya sendiri. Mungkin sekali calon yang hendak disodorkan Raimundus adalah Tuan Besar Ramlah, Balduinus, abang Balianus. Demi menggagalkan upaya Raimundus, sang raja buru-buru mengawinkan Putri Sibila dengan Guido, kesatria bangsawan Lusignan, adik Aimerikus, Jagabaya Kerajaan Yerusalem. Perjodohan dengan bangsawan luar negeri dianggap penting karena membuka peluang bagi pengerahan bala bantuan dari luar Kerajaan Yerusalem. Karena Raja Prancis yang baru, Filipus II, masih di bawah umur, status Guido selaku kawula Raja Prancis maupun kawula Raja Inggris yang masih terhitung saudara misan Putri Sibila, yakni Raja Henrikus II – yang diwajibkan Sri Paus untuk melakukan ziarah silih dosa ke Tanah Suci – dianggap ada gunanya.
Pada tahun 1182, Raja Balduinus IV, yang kian kesulitan menjalankan pemerintahan akibat penyakit kusta yang dideritanya, mengangkat Guido menjadi bailli (pengemban titah, wakil raja). Pengangkatan tersebut ditentang Raimundus, tetapi sesudah Guido kehilangan kepercayaan raja setahun kemudian, Raimundus diangkat kembali menjadi bailli dan dihadiahi kepemilikan atas Beirut. Raja Balduinus akhirnya mencapai mufakat dengan Raimundus dan Haute Cour untuk mengangkat Balduinus bangsawan Monferrato, anak Sibila dari suami pertama, menjadi ahli warisnya, dengan hak waris mendahului Sibila dan Guido. Pada tahun 1183, anak Sibila yang masih kanak-kanak itu dinobatkan menjadi Raja Balduinus V, untuk memerintah bersama-sama Balduinus IV, dalam suatu upacara yang dipimpin Raimundus. Disepakati bahwa apabila raja kanak-kanak itu mangkat sebelum akil balik, hak perwaliannya turun kepada "ahli-ahli waris yang paling berhak" sampai para kerabatnya – Raja Inggris, Raja Prancis, dan Kaisar Romawi Suci, Frederikus I – dan Sri Paus dapat memutuskan pihak mana yang lebih berhak dinobatkan menggantikannya, Sibila atau Isabela. Tidak diperinci siapa saja "ahli-ahli waris yang paling berhak" tersebut.
Raja Balduinus IV mangkat pada musim semi tahun 1185, dan digantikan kemenakannya, Balduinus V. Raimundus memegang jabatan bailli, tetapi melimpahkan hak perwaliannya atas Balduinus V kepada Yoselinus III, Bupati Tituler Edesa, adik dari ibu Sibila, lantaran enggan dicurigai yang bukan-bukan apabila sang raja kanak-kanak yang kondisi kesehatannya tidak kunjung membaik itu tiba-tiba mangkat. Raja Balduinus V mangkat pada musim gugur tahun 1186, di Ako. Baik kubu Sibila maupun kubu Isabela mengabaikan wasiat Balduinus IV.
Seusai upacara pengebumian, Yoselinus mencalonkan Sibila sebagai pengganti Balduinus IV, meskipun Sibila harus bersedia menceraikan Guido, sama seperti ayahnya dulu dipaksa menceraikan ibunya, tetapi dijanjikan akan diperbolehkan memilih sendiri pendamping baru. Sesudah dinobatkan, Sibila langsung menobatkan Guido. Sementara itu, Raimundus berangkat ke Nablus, kota tempat Balianus dan Maria bermastautin, lalu mengundang semua bangsawan yang setia kepada Putri Isabela dan wangsa Ibelin. Raimundus menghendaki Isabela dan suaminya, Hunfridus IV, Tuan Besar Toron, dinobatkan menjadi penguasa Yerusalem, tetapi Hunfridus yang berayahtirikan Reginaldus bangsawan Châtillon, salah seorang sekutu Guido, malah membelot dan berprasetia kepada Guido dan Sibila.
lantaran seringnya kepala negara berhalangan hadir atau masih kanak-kanak, kerap terjadi pengangkatan pemangku sepanjang sejarah Kerajaan Yerusalem.
Dari tahun ke tahun, banyak pemimpin Eropa yang mendaku-daku sebagai ahli waris yang sah atas takhta Kerajaan Yerusalem. Meskipun demikian, tidak sejengkal pun tanah di Outremer yang pernah mereka kuasai:
Bách khoa toàn thư mở Wikipedia
Raja Raja Chola I là một trong những vị hoàng đế kiệt xuất của nhà Chola, người trị vì từ năm 985 đến 1014 Sau công nguyên. Ông đã chinh phạt các vương quốc ở phía Nam Ấn Độ và đế quốc Chola cho đến tận Tích Lan phía nam, và Kalinga (Orissa) phía bắc, dẫn đến sự phát triển không ngừng của đế chế Chola. Ông từng chiến đấu trong nhiều trận đánh với quân Chalukya ở miền bắc và Pandya ở miền nam. Việc Rajaraja thôn tính Vengi đã dẫn đến sự sáng lập triều đại Chalukya Chola. Ông xâm chiếm Tích Lan và bắt đầu sự chiếm đóng của Chola trên hòn đảo này kéo dài trong một thế kỉ.
Ông đã hợp lý hóa chế độ hành chính, chia đất nước thành nhiều khu vực và chuẩn hóa việc thu ngân sách qua những cuộc điều tra đất đai có hệ thống. Ông xây dựng ngôi đền Brihadisvara lộng lẫy ở Thanjavur và từ đây ông phân chia của cải cho các bề tôi của mình. Những thành tựu của ông đặt nền móng cho con là Rajendra Chola I mở rộng đế quốc của mình hơn nữa.
Phong cảnh hoang sơ, đa dạng sinh học biển phong phú nhất thế giới và hình ảnh thiên nhiên siêu thực đã mang lại cho quần đảo Raja Raja, một quần đảo ở phía tây tỉnh Papua (Indonesia), danh hiệu “Rừng già của biển cả” và biến nơi đây thành một điểm đến mới hấp dẫn của du lịch biển Indonesia. Những người thích khám phá biển hãy cùng Lửa Việt tham quan quần đảo này ngay nào.
Là đất nước được mệnh danh là “Xứ sở vạn đảo”, du lịch biển Indonesia không khó hiểu khi Indonesia sở hữu rất nhiều hòn đảo đẹp nhất thế giới. Đặc biệt, Raja Ampat có hơn 1.500 hòn đảo với hệ sinh thái nguyên sơ. Cái tên Raja Ampat (có nghĩa là 4 vị vua) bắt nguồn từ một câu chuyện thần thoại. Câu chuyện kể rằng một người phụ nữ bị trôi dạt trên biển và bị lạc trên một hòn đảo. Tại đây, cô đã tìm thấy 7 quả trứng. Bốn người trong số họ đã phát triển thành bốn vị vua, chiếm giữ bốn hòn đảo lớn nhất là Raja Ampat, Misour, Sarawati, Batanta và Waigio.
Quần đảo tự nhiên đầy kỳ vĩ
Tuy nhiên, 4 hòn đảo nổi tiếng này chỉ thực sự là bước khởi đầu cho một hành trình khám phá và khám phá thiên nhiên tuyệt vời ở Raja Ampat. Nằm trong khu vực Tam giác San hô (bao gồm Indonesia, Malaysia, Philippines, Papua New Guinea, quần đảo Solomon và Đông Timor), Raja Ampat là nơi có đa dạng sinh học biển lớn nhất thế giới. Là nơi sinh sống của hơn 1.300 loài cá đầy màu sắc, hơn 700 loài nhuyễn thể và thảm san hô rộng 180.000 km vuông, Raja Ampat được mệnh danh là “Rừng già của biển cả”. Nước biển ở Raja Ampat vô cùng ấm áp, với nhiệt độ trung bình khoảng 28 – 30 độ C. Bức tranh thiên nhiên nơi đây còn được điểm xuyết bởi những đầm phá, rừng ngập mặn xanh biếc và những cánh rừng nguyên sinh.
Một điểm đặc biệt khác khiến quần đảo này càng thu hút khách du lịch là cho đến nay, chỉ còn khoảng 40 hòn đảo có người sinh sống. Trong khi tình trạng du lịch đại trà không được mở rộng, Raja Ampat vẫn duy trì vẻ đẹp hoang sơ này, khiến mọi du khách đều cảm thấy như họ là người đầu tiên khám phá thiên đường này.
Hình thù kỳ lạ cùng hệ sinh thái đặc trưng đã tạo sức hút cho nơi này
Du khách không chỉ được ngắm nhìn thiên nhiên kỳ vĩ của du lịch biển Indonesia mà còn có cơ hội tham gia các hoạt động khiến nhiều tín đồ biển thích thú như bơi lội gần trường cá mập, cá ngựa lùn và cá đuối, rùa biển, cá vẹt … dành cho những ai. Yêu thích môn lặn biển Man, Raja Ampat được coi là nơi nhất định phải đến trong đời vì 70% rạn san hô trên thế giới đều tập trung ở đây. Tiếp theo là chèo thuyền kayak để khám phá vô số hòn đảo nhỏ như nấm, khám phá hang động, thám hiểm rừng, câu cá … hoặc chỉ cần thư giãn trên bãi cát xanh trong, mịn như nhung.
Hãy thử ghé thăm quần đảo tuyệt diệu này nhé!
Thời điểm lý tưởng nhất để du lịch và lặn ở Raja Ampat là từ giữa tháng 10 đến giữa tháng 12 khi thời tiết trong xanh, trời quang mây tạnh, ít mưa, gió nhẹ và biển động nhẹ. Để có thể khám phá hết vẻ đẹp của Raja Ampat, chuyến đi của bạn nên kéo dài ít nhất một tuần. Bạn có thể đến Raja Ampat từ Jakarta, Bali hoặc Singapore.
Quần đảo này thật thú vị phải không nào? Cùng Lửa Việt tận hưởng chuyến du lịch biển Indonesia ngay đi còn chần chờ chi.